Rabu, 27 Desember 2017

Review Diskusi ILC terkait zina dan LGBT

Berawal dari kasus-kasus meningkatnya jumlah penderita Infeksi Menular Seks di Indonesia yang kebanyakan diakibatkan oleh seks bebas serta hubungan seks sesama jenis. Selain itu meningkatnya jumlah LGBT di Indonesia menjadikan topik ini ramai di bicarakan di kalangan masyarakat khususnya mengenai keputusan MK terkait zina dan LGBT. Sehingga pada Selasa, 19 Desember 2017 Indonesia Lawyer Club (ILC) tertarik untuk mengangkat topik tersebut dengan judul “Benarkah MK melegalkan Zina dan LGBT?


Berikut ini adalah narasumber yang hadir dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) :
1.      Prof. Dr. Ir Euis Sunarti selaku Pemohon Judicial Review ­– Guru Besar IPB
2.      Rita Soebagio selaku Pemohon Judicial Review ­– Ketua Organisasi AILA
3.      Feizal Syahmenan selaku Koordinator Tim Pengacara Pemohon
4.      Dewi Inong Irana selaku dokter Spesialis Kulit dan Kelamin – Saksi Ahli
5.      Ade Armando selaku Pengamat Komunikasi
6.      Cania Citta selaku Jurnalis di Geotimes
7.      Dede Oetomo selaku Aktivis Gaya Nusantara
8.      Aan Anshori selaku Koordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi
9.      K.H. Zaitun Rasmin selaku Wasekjen MUI
10.  Franz Magnis Suseno selaku Rohanian Katolik
11.  Ahmad Yani selaku Praktiktisi Hukum
12.  Muszakkir selaku Pakar Hukum Pidana
13.  Feri Amsari selaku Pakar Hukum Tata Negara
14.  Ahmad Redi selaku Pakar Hukum Tata Negara Universitas Tarumanegara
15.  Refly Harun selaku Pakar Hukum Tata Negara
16.  Irman Putra Sidin selaku Pakar Hukum Tata Negara
17.  Prof. Mahfud M.D. selaku Mantan Ketua MK

Topik ini mulai memuncak ketika MK menolak gugatan uji materi yang diajukan oleh pemohon (Judicial Review dan Organisasi AILA) terkait praktik zina dan LGBT(Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) yang tercantum dalam KUHP. Dalam KUHP saat ini aturan terkait praktik zina dan LGBT hanya menjerat mereka yang sudah menikah, mereka yang melakukan praktik zina dengan anak dibawah umur, serta melakukan pemerkosaan terhadap perempuan sedangkan terkait hubungan sesama jenis yang melibatkan pasangan dewasa pun belum ada aturannya. Untuk itu pemohon mengajukan permohonan kepada MK untuk memperluas aturan terkait praktik zina dan LGBT yang terdapat dalam pasal 284, 285 serta 292. Permohonan ini diajukan tidak serta merta atas kepentingan pribadi dari para pemohon melainkan untuk kepentingan bersama dan upaya bentuk kepedulian mereka terhadap sesama. 
Berikut ini isi dari pasal-pasal yang diajukan oleh pemohon kepada MK untuk diperluas terkait zina dan LGBT
Pasal 284
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1.a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
1.b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
2.a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
2.b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 292
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Dari sidang yang telah dilakukan selama 22 kali oleh sembilan orang hakim, empat diantaranya termasuk (Arif Hidayat) selaku ketua MK menyatakan pendapat yang berbeda(Dissenting Opinion) dengan kelima hakim yang menolak uji materi tersebut. Keempat hakim yang setuju dengan uji materi menilai pasal tersebut mempersempit definisi dan sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Pendapat yang hanya selisih satu suara ini menimbulkan berbagai penafsiran dalam benak masyarakat, apakah MK melegalkan zina dan LGBT? Sehingga akibat keputusan ini MK dianggap sebagai pahlawan karena menolak kriminalisasi LGBT dan dinilai gagal dalam menegakkan konstitusi dan dianggap bersekongkol dengan LGBT.
Sementara kelima hakim yang menolak uji materi tersebut berpendpat bahwa gugatan mengenai perluasan tafsir terkait pasal praktik zina dan LGBT sudah masuk dalam rancangan KUHP baru dan tinggal menunggu di sahkan, dan mengatakan bahwa MK tak mempunyai kewenangan untuk menambah unsur baru dalam UU, melainkan kewenangan dari parlemen dan presiden.
Selain menarik perhatian masyarakat, menteri Agama (Lukman H. Saifuddin) juga turut mengungkapakan pendapatnya mengenai topik ini dengan mengatakan bahwa “semua agama tidak menyetujui tindakan/perilaku LGBT. Tidak ada agama yang membenarkan itu. Lihat saja di UU perkawinan, yang sah itu perkawinan yang dilakukan diantara dua jenis kelamin yang berbeda. Tidak ada norma hukum yang melegalisasikan itu,” tegasnya.
Dalam diskusi di acara ILC mengenai topik dengan judul “:Benarkah MK melegalkan zina dan LGBT” diawali dari pernyataan Prof. Dr. Ir Euis Sunarti selaku Pemohon Judicial Review beliau ­mengatakan bahwa kejadian-kejadian terkait praktik zina, cabul dan hubungan sesama jenis sudah mencapai 60-70% disuatu desa dan bahkan tindakan tersebut terjadi dengan orang-orang yang memiliki kekerabatan yang dekat misalnya dengan ipar atau mertua. Beliau merasa khawatir dengan kondisi yang seperti ini bagi masa depan generasi penerus bangsa.
Selain itu, beliau mengatakan bahwa adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum di Indonesia seperti pada Pasal 292 yang menjerat pelaku perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, hal ini berati orang yang melakukan tindakan tersebut dengan seseorang yang belum  dewasa akan dikenakan hukuman sedangkan apabila orang tersebut melakukan tindakan zina dengan orang yang sudah dewasa tidak mendapatkan hukuman. Beliau juga merasa kecewa dengan keputusan MK yang mengatakan bahwa pemohon sudah salah alamat, lalu sidang selama ini(22 kali sidang) untuk apa jika keputusan finalnya adalah MK mengatakan bahwa ia sudah salah alamat. Akan tetapi beliau menerima keputusan dengan lapang dada dan akan tetap memperjuangkan bentuk kepeduliannya tersebut jika ada kesempatan-kesempatan baginya.
Rita Soebagio selaku pemohon sekaligus ketua Organisasi AILA mengatakan bahwa sebelum menghadap MK kami (Organisasi AILA) telah melakukan kajian-kajian kritis sampai dengan melakukan survey ke 37 Provinsi untuk mewakili suara-suara masyarakat dibawah yang sebagian besar (93%) berpendapat menolak praktik perzinahan. Untuk itu pemohon berani menghadap MK dengan kekuatan bahwa banyak yang setuju menolak zina dan LGBT selain bertentangan dengan nilai-nilai agama juga bertentangan dengan norma masyarakat. Menurutnya sebenarnya hukum tentang cabul, hubungan sesama jenis dengan anak dibawah umur sudah bisa dijerat akan tetapi yang kami minta perluas adalah kalo cabul dilakukan dengan sesama jenis antara laki-laki dewasa. Bahkan karena jiar yang dilakukan ini organisasi kami sampai mendapat stigma sebagai kelompok yang akan mengkriminalkan kelompok LGBT ungkapnya. Lalu muncul pertanyaan darinya “Apakah negara membolehkan cabul antara laki-laki dewasa dengan laki-laki dewasa?”
Pernyataan Feizal Syahmenan selaku Koordinator tim Pengacara Pemohon yaitu pemohon yang maju ke MK bukan untuk main-main, mereka menemukan adanya kekosongan hukum pada pasal 284, 285 dan 292 yang kenyataanya tidak dapat menjangkau hal-hal yang dijadikan keberatan oleh pemohon. Bahkan diawali oleh pengakuan majelis sendiri dalam keputusannya yang terdapat kekosongan hukum, sehingga pada esensinya sembilan hakim MK setuju dengan permohonan dari pemohon. Akan tetapi adanya perbedaan pendapat diantara hakim MK yang mana lima hakim berpendapat harus melalui DPR sementara keempat hakim lainnya berpendapat justru kewajiban MK untuk menggali nilai-nilai yang hidup pada masyarakat. Dengan demikian pada dasarnya MK tidak melegalkan zina dan LGBT.
Untuk memperkuat alasan dari pengajuan permohonan dari para pemohon dokter spesialis kulit dan kelamin yaitu dokter Dewi Inong Irana mengatakan bahwa seks bebas / zina(cabul sesama jenis) = Infeksi Menular Seks, dimana IMS dapat ditularkan melalui 5 cara yaitu:
1.      Kelamin-Anal (dubur/anus)
2.      Kelamin-Oral
3.      Kelamin-Kelamin
4.      Kelamin-Alat
5.      Kelamin-Tangan
Berdasarkan survey yang dilakukannya beliau berpendapat bahwa LGBT adalah resiko yang tertinggi terkena HIV-Aids yang mana menurut data di Amerika resiko tertinggi HIV-Aids terjadi melalui hubungan seks yang dilakukan dengan Kelamin-dubur. Sedangkan data yang diperoleh DepKes mengenai jumlah penderita HIV-Aids di Indonesia yaitu sebanyak 0,5% dengan kenyataan bahwa LSL(Gay) 60 kali lipat lebih mudah terkena HIV-Aids. Selain itu juga beliau menyarankan bagi yang termasuk berperilaku seksual resiko tinggi (LGBT, LSL, PSK, Biseksual, Berganti-ganti pasangan) harap melakuak skrening sedini mungkin dan melakukan konsultasi untuk mencegah sedini mungkin.
Namun pada kenyataan tidak semua orang sependapat dengan pengajuan permohonan ini, dalam diskusinya pada acara ILC beberapa narasumber menyatakan ketidaksetujuan diantaranya ada yang berpendapat bahwa negara tidak bisa mengatur mengenai urusan kamar tidur warganya, dalam artian dengan siapa seseorang tidur. Seperti yang dikemukakan oleh Ade Armando selaku pengamat komunikasi ia membantah pernyataan Ibu Rita selaku pemohon dengan mengatakan bahwa LGBT bukan lah suatu kebatilan dan tidak selayaknya seseorang yang melakukan tindakan LGBT ini di kenakan sanksi pidana.
Sementara menurut Cania Citta selaku jurnalis di Geotimes mengaku bahwa negara akan terlalu jauh mengatur individu.  Menurutnya hukum seperti hak dan kewajiban yang mana hak bersifat fakultatif sedangkan kewajiban bersifat imperatif. Sementara negara ini menempatkan agama sebagai hak, yang artinya ada orang-orang yang tidak mempunyai agama. Akan tetapi pernyataan ini dibantah oleh Feizal Syahmenan yang mengatakan bahwa negara ini dari sabang sampai merauke warganya percaya akan agama dan dengan caranya masing-masing.
Pihak lain yang kontra terhadap permohonan ini yaitu Dede Oetomo selaku aktivis gaya nusantara ia mengatakan bahwa para pemohon merupakan suatu golongan yang memaksakan nilainya kepada golongan lain, di Indonesia bukan hanya mereka tetapi ada saya yang setuju dengan hubungan seks antara dua orang dengan siapa saja selama itu dilakukan suka sama suka dan tidak ada korbannya. Menurut bung Dede nilai dalam KUHP sudah benar, jika kita mengkriminalisasikan perilaku seks sesama jenis / zina diluar nikah maka itu sama saja kita mundur. Selain itu, ia tidak setuju jika pelaku LGBT di jerat sanksi pidana menurutnya lebih tepat jika menggunakan pendekatan dampak buruk dengan menyelamatkan pelaku dulu bukan dipidanakan.
Franz Magnis Suseno selaku rohanian katolik mengungkapkan pendapatnya dari sisi agama yang ia percaya bahwa hubungan seks yang dapat dibenarkan hanyalah seks antara laki-laki dengan perempuan dan menurutnya orang-orang homosex tidak boleh di diskriminasi atau di intimidasi dan sebagainya, dan seharusnya diperlakukan sama seperti orang-orang pada umumnya.
Sementara Prof. Mahfud M.D. selaku Mantan Ketua MK mengatakan bahwa MK hanya menolak memberi perluasan tafsir atas yang ada di dalam KUHP, bukan membolehkan atau melarang. MK memang tak boleh membuat norma larangan zina dan LGBT bisa dilarang dalam UU. Dan itu sekarang sudah ada dalam RUU KUHP.

Opini :
Sebelum saya mengungkapkan pendapat saya terkait topik bahasan kali ini saya akan menyampaikan bahwa saya bukan lah orang yang paham betul mengenai hukum, selain itu saya juga bukan orang yang mempelajari hukum sangat detail, penulisan ini hanya bertujuan untuk memenuhi tugas perkulihan untuk mata kuliah pendidikan pancasila. Apabila ada kesalahan dalam penulisan ini mohon disampaikan dengan cara yang sopan dan baik karena saya akan menerima kritik yang disampaikan dengan cara yang baik.
Pendapat saya mengenai topik ini yaitu bahwa LGBT atau zina antara orang dewasa bukan lah suatu tindakan kriminal yang merugikan atau melukai pihak lain apabila dilakukan atas dasar suka sama suka bukan karena adanya paksaan. Akan tetapi lebih kepada perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai keagamaan yang terkandung dalam sila pertama pancasila. Dalam sila pertama pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” bahwasanya mengungkapkan bahwa warga negara mempercayai akan adanya tuhan dan membenarkan ajaran yang terkandung dalam agama yang dianutnya, yang mana setiap agama tidak ada yang membenarkan tindakan zina ataupun LGBT.
Apabila seseorang melakukan tindakan zina atau LGBT maka dapat dikatakan bahwa ia telah melanggar aturan agama yang ia percayai, yang artinya ia telah melakukan tindakan yang menyimpang bukan tindakan kriminal. Maka akan lebih baik jika pelaku zina atau  LGBT lebih diarahkan untuk mendapatkan pengarahan serta bimbingan mengenai dampak buruk yang akan ditimbulkan akibat perilaku mereka dengan tujuan untuk memperbaiki perilakunya yang menyimpang atas dasar kesadaran dari individu bukan karena paksaan. Selain itu, apabila  pelaku LGBT mendapat sanksi pidana belum tentu ia akan bertaubat dan kembali pada jalan yang benar, bisa saja setelah mendapat sanksi ia kembali untuk melakukan tindakan tersebut.
Selain itu, saya berharap supaya pelaku LGBT atau zina tetap mendapatkan perlakukan yang sama seperti orang lain pada umumnya karena sesungguhnya mereka merupakan orang-orang butuh pengarahan serta bimbingan bukannya melakukan kriminalisasi terhadap mereka. Karena sesungguhnya mereka juga mempunyai hak yang sama seperti orang lain pada umumnya yaitu mendapat perlindungan dari negara, maka peran negara disini yaitu memberikan keadilan yang sama kepada seluruh warga negara nya seperti yang tertuang dalam sila pancasila kelima yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Mereka juga berhak diperlakukan seperti orang lain pada umumnya, karena mereka mempunyai hak yang sama untuk memilih pasangan dan dapat memperjuangkan haknya serta memperoleh keadilan seperti yang tertuang dalam sila pancasila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradap”. Apabila setiap warga negara mendapat keadilan dan diperlakukan sama maka keutuhan akan wilayah NKRI akan tetap terjaga maka penting bagi lembaga legislatif untuk menegakan hukum yang adil demi persatuan Indonesia seperti yang tertuang dalam sila pancasila kedua dan keempat.
Dalam pernyataan ini saya bukan mengatakan setuju atau mendukung dengan pelaku zina dan LGBT tapi lebih kepada memilih cara yang tepat untuk mengatasi masalah ini. Dan pada prinsipnya memang saya menolak tindakan zina dan LGBT karena merupakan perilaku yang menyimpang dari ajaran agama. Dan sesungguhnya MK sudah benar dalam membuat keputusannya karena pada dasarnya MK tidak mempunyai kewenangan untuk membuat norma baru, melainkan kewajiban dari lembaga legislatif .  Sehingga sudah jelas bahwa MK bukanlah melegalkan zina dan LGBT.