Rabu, 27 Desember 2017

Review Diskusi ILC terkait zina dan LGBT

Berawal dari kasus-kasus meningkatnya jumlah penderita Infeksi Menular Seks di Indonesia yang kebanyakan diakibatkan oleh seks bebas serta hubungan seks sesama jenis. Selain itu meningkatnya jumlah LGBT di Indonesia menjadikan topik ini ramai di bicarakan di kalangan masyarakat khususnya mengenai keputusan MK terkait zina dan LGBT. Sehingga pada Selasa, 19 Desember 2017 Indonesia Lawyer Club (ILC) tertarik untuk mengangkat topik tersebut dengan judul “Benarkah MK melegalkan Zina dan LGBT?


Berikut ini adalah narasumber yang hadir dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) :
1.      Prof. Dr. Ir Euis Sunarti selaku Pemohon Judicial Review ­– Guru Besar IPB
2.      Rita Soebagio selaku Pemohon Judicial Review ­– Ketua Organisasi AILA
3.      Feizal Syahmenan selaku Koordinator Tim Pengacara Pemohon
4.      Dewi Inong Irana selaku dokter Spesialis Kulit dan Kelamin – Saksi Ahli
5.      Ade Armando selaku Pengamat Komunikasi
6.      Cania Citta selaku Jurnalis di Geotimes
7.      Dede Oetomo selaku Aktivis Gaya Nusantara
8.      Aan Anshori selaku Koordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi
9.      K.H. Zaitun Rasmin selaku Wasekjen MUI
10.  Franz Magnis Suseno selaku Rohanian Katolik
11.  Ahmad Yani selaku Praktiktisi Hukum
12.  Muszakkir selaku Pakar Hukum Pidana
13.  Feri Amsari selaku Pakar Hukum Tata Negara
14.  Ahmad Redi selaku Pakar Hukum Tata Negara Universitas Tarumanegara
15.  Refly Harun selaku Pakar Hukum Tata Negara
16.  Irman Putra Sidin selaku Pakar Hukum Tata Negara
17.  Prof. Mahfud M.D. selaku Mantan Ketua MK

Topik ini mulai memuncak ketika MK menolak gugatan uji materi yang diajukan oleh pemohon (Judicial Review dan Organisasi AILA) terkait praktik zina dan LGBT(Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) yang tercantum dalam KUHP. Dalam KUHP saat ini aturan terkait praktik zina dan LGBT hanya menjerat mereka yang sudah menikah, mereka yang melakukan praktik zina dengan anak dibawah umur, serta melakukan pemerkosaan terhadap perempuan sedangkan terkait hubungan sesama jenis yang melibatkan pasangan dewasa pun belum ada aturannya. Untuk itu pemohon mengajukan permohonan kepada MK untuk memperluas aturan terkait praktik zina dan LGBT yang terdapat dalam pasal 284, 285 serta 292. Permohonan ini diajukan tidak serta merta atas kepentingan pribadi dari para pemohon melainkan untuk kepentingan bersama dan upaya bentuk kepedulian mereka terhadap sesama. 
Berikut ini isi dari pasal-pasal yang diajukan oleh pemohon kepada MK untuk diperluas terkait zina dan LGBT
Pasal 284
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1.a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
1.b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
2.a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
2.b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 292
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Dari sidang yang telah dilakukan selama 22 kali oleh sembilan orang hakim, empat diantaranya termasuk (Arif Hidayat) selaku ketua MK menyatakan pendapat yang berbeda(Dissenting Opinion) dengan kelima hakim yang menolak uji materi tersebut. Keempat hakim yang setuju dengan uji materi menilai pasal tersebut mempersempit definisi dan sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Pendapat yang hanya selisih satu suara ini menimbulkan berbagai penafsiran dalam benak masyarakat, apakah MK melegalkan zina dan LGBT? Sehingga akibat keputusan ini MK dianggap sebagai pahlawan karena menolak kriminalisasi LGBT dan dinilai gagal dalam menegakkan konstitusi dan dianggap bersekongkol dengan LGBT.
Sementara kelima hakim yang menolak uji materi tersebut berpendpat bahwa gugatan mengenai perluasan tafsir terkait pasal praktik zina dan LGBT sudah masuk dalam rancangan KUHP baru dan tinggal menunggu di sahkan, dan mengatakan bahwa MK tak mempunyai kewenangan untuk menambah unsur baru dalam UU, melainkan kewenangan dari parlemen dan presiden.
Selain menarik perhatian masyarakat, menteri Agama (Lukman H. Saifuddin) juga turut mengungkapakan pendapatnya mengenai topik ini dengan mengatakan bahwa “semua agama tidak menyetujui tindakan/perilaku LGBT. Tidak ada agama yang membenarkan itu. Lihat saja di UU perkawinan, yang sah itu perkawinan yang dilakukan diantara dua jenis kelamin yang berbeda. Tidak ada norma hukum yang melegalisasikan itu,” tegasnya.
Dalam diskusi di acara ILC mengenai topik dengan judul “:Benarkah MK melegalkan zina dan LGBT” diawali dari pernyataan Prof. Dr. Ir Euis Sunarti selaku Pemohon Judicial Review beliau ­mengatakan bahwa kejadian-kejadian terkait praktik zina, cabul dan hubungan sesama jenis sudah mencapai 60-70% disuatu desa dan bahkan tindakan tersebut terjadi dengan orang-orang yang memiliki kekerabatan yang dekat misalnya dengan ipar atau mertua. Beliau merasa khawatir dengan kondisi yang seperti ini bagi masa depan generasi penerus bangsa.
Selain itu, beliau mengatakan bahwa adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum di Indonesia seperti pada Pasal 292 yang menjerat pelaku perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, hal ini berati orang yang melakukan tindakan tersebut dengan seseorang yang belum  dewasa akan dikenakan hukuman sedangkan apabila orang tersebut melakukan tindakan zina dengan orang yang sudah dewasa tidak mendapatkan hukuman. Beliau juga merasa kecewa dengan keputusan MK yang mengatakan bahwa pemohon sudah salah alamat, lalu sidang selama ini(22 kali sidang) untuk apa jika keputusan finalnya adalah MK mengatakan bahwa ia sudah salah alamat. Akan tetapi beliau menerima keputusan dengan lapang dada dan akan tetap memperjuangkan bentuk kepeduliannya tersebut jika ada kesempatan-kesempatan baginya.
Rita Soebagio selaku pemohon sekaligus ketua Organisasi AILA mengatakan bahwa sebelum menghadap MK kami (Organisasi AILA) telah melakukan kajian-kajian kritis sampai dengan melakukan survey ke 37 Provinsi untuk mewakili suara-suara masyarakat dibawah yang sebagian besar (93%) berpendapat menolak praktik perzinahan. Untuk itu pemohon berani menghadap MK dengan kekuatan bahwa banyak yang setuju menolak zina dan LGBT selain bertentangan dengan nilai-nilai agama juga bertentangan dengan norma masyarakat. Menurutnya sebenarnya hukum tentang cabul, hubungan sesama jenis dengan anak dibawah umur sudah bisa dijerat akan tetapi yang kami minta perluas adalah kalo cabul dilakukan dengan sesama jenis antara laki-laki dewasa. Bahkan karena jiar yang dilakukan ini organisasi kami sampai mendapat stigma sebagai kelompok yang akan mengkriminalkan kelompok LGBT ungkapnya. Lalu muncul pertanyaan darinya “Apakah negara membolehkan cabul antara laki-laki dewasa dengan laki-laki dewasa?”
Pernyataan Feizal Syahmenan selaku Koordinator tim Pengacara Pemohon yaitu pemohon yang maju ke MK bukan untuk main-main, mereka menemukan adanya kekosongan hukum pada pasal 284, 285 dan 292 yang kenyataanya tidak dapat menjangkau hal-hal yang dijadikan keberatan oleh pemohon. Bahkan diawali oleh pengakuan majelis sendiri dalam keputusannya yang terdapat kekosongan hukum, sehingga pada esensinya sembilan hakim MK setuju dengan permohonan dari pemohon. Akan tetapi adanya perbedaan pendapat diantara hakim MK yang mana lima hakim berpendapat harus melalui DPR sementara keempat hakim lainnya berpendapat justru kewajiban MK untuk menggali nilai-nilai yang hidup pada masyarakat. Dengan demikian pada dasarnya MK tidak melegalkan zina dan LGBT.
Untuk memperkuat alasan dari pengajuan permohonan dari para pemohon dokter spesialis kulit dan kelamin yaitu dokter Dewi Inong Irana mengatakan bahwa seks bebas / zina(cabul sesama jenis) = Infeksi Menular Seks, dimana IMS dapat ditularkan melalui 5 cara yaitu:
1.      Kelamin-Anal (dubur/anus)
2.      Kelamin-Oral
3.      Kelamin-Kelamin
4.      Kelamin-Alat
5.      Kelamin-Tangan
Berdasarkan survey yang dilakukannya beliau berpendapat bahwa LGBT adalah resiko yang tertinggi terkena HIV-Aids yang mana menurut data di Amerika resiko tertinggi HIV-Aids terjadi melalui hubungan seks yang dilakukan dengan Kelamin-dubur. Sedangkan data yang diperoleh DepKes mengenai jumlah penderita HIV-Aids di Indonesia yaitu sebanyak 0,5% dengan kenyataan bahwa LSL(Gay) 60 kali lipat lebih mudah terkena HIV-Aids. Selain itu juga beliau menyarankan bagi yang termasuk berperilaku seksual resiko tinggi (LGBT, LSL, PSK, Biseksual, Berganti-ganti pasangan) harap melakuak skrening sedini mungkin dan melakukan konsultasi untuk mencegah sedini mungkin.
Namun pada kenyataan tidak semua orang sependapat dengan pengajuan permohonan ini, dalam diskusinya pada acara ILC beberapa narasumber menyatakan ketidaksetujuan diantaranya ada yang berpendapat bahwa negara tidak bisa mengatur mengenai urusan kamar tidur warganya, dalam artian dengan siapa seseorang tidur. Seperti yang dikemukakan oleh Ade Armando selaku pengamat komunikasi ia membantah pernyataan Ibu Rita selaku pemohon dengan mengatakan bahwa LGBT bukan lah suatu kebatilan dan tidak selayaknya seseorang yang melakukan tindakan LGBT ini di kenakan sanksi pidana.
Sementara menurut Cania Citta selaku jurnalis di Geotimes mengaku bahwa negara akan terlalu jauh mengatur individu.  Menurutnya hukum seperti hak dan kewajiban yang mana hak bersifat fakultatif sedangkan kewajiban bersifat imperatif. Sementara negara ini menempatkan agama sebagai hak, yang artinya ada orang-orang yang tidak mempunyai agama. Akan tetapi pernyataan ini dibantah oleh Feizal Syahmenan yang mengatakan bahwa negara ini dari sabang sampai merauke warganya percaya akan agama dan dengan caranya masing-masing.
Pihak lain yang kontra terhadap permohonan ini yaitu Dede Oetomo selaku aktivis gaya nusantara ia mengatakan bahwa para pemohon merupakan suatu golongan yang memaksakan nilainya kepada golongan lain, di Indonesia bukan hanya mereka tetapi ada saya yang setuju dengan hubungan seks antara dua orang dengan siapa saja selama itu dilakukan suka sama suka dan tidak ada korbannya. Menurut bung Dede nilai dalam KUHP sudah benar, jika kita mengkriminalisasikan perilaku seks sesama jenis / zina diluar nikah maka itu sama saja kita mundur. Selain itu, ia tidak setuju jika pelaku LGBT di jerat sanksi pidana menurutnya lebih tepat jika menggunakan pendekatan dampak buruk dengan menyelamatkan pelaku dulu bukan dipidanakan.
Franz Magnis Suseno selaku rohanian katolik mengungkapkan pendapatnya dari sisi agama yang ia percaya bahwa hubungan seks yang dapat dibenarkan hanyalah seks antara laki-laki dengan perempuan dan menurutnya orang-orang homosex tidak boleh di diskriminasi atau di intimidasi dan sebagainya, dan seharusnya diperlakukan sama seperti orang-orang pada umumnya.
Sementara Prof. Mahfud M.D. selaku Mantan Ketua MK mengatakan bahwa MK hanya menolak memberi perluasan tafsir atas yang ada di dalam KUHP, bukan membolehkan atau melarang. MK memang tak boleh membuat norma larangan zina dan LGBT bisa dilarang dalam UU. Dan itu sekarang sudah ada dalam RUU KUHP.

Opini :
Sebelum saya mengungkapkan pendapat saya terkait topik bahasan kali ini saya akan menyampaikan bahwa saya bukan lah orang yang paham betul mengenai hukum, selain itu saya juga bukan orang yang mempelajari hukum sangat detail, penulisan ini hanya bertujuan untuk memenuhi tugas perkulihan untuk mata kuliah pendidikan pancasila. Apabila ada kesalahan dalam penulisan ini mohon disampaikan dengan cara yang sopan dan baik karena saya akan menerima kritik yang disampaikan dengan cara yang baik.
Pendapat saya mengenai topik ini yaitu bahwa LGBT atau zina antara orang dewasa bukan lah suatu tindakan kriminal yang merugikan atau melukai pihak lain apabila dilakukan atas dasar suka sama suka bukan karena adanya paksaan. Akan tetapi lebih kepada perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai keagamaan yang terkandung dalam sila pertama pancasila. Dalam sila pertama pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” bahwasanya mengungkapkan bahwa warga negara mempercayai akan adanya tuhan dan membenarkan ajaran yang terkandung dalam agama yang dianutnya, yang mana setiap agama tidak ada yang membenarkan tindakan zina ataupun LGBT.
Apabila seseorang melakukan tindakan zina atau LGBT maka dapat dikatakan bahwa ia telah melanggar aturan agama yang ia percayai, yang artinya ia telah melakukan tindakan yang menyimpang bukan tindakan kriminal. Maka akan lebih baik jika pelaku zina atau  LGBT lebih diarahkan untuk mendapatkan pengarahan serta bimbingan mengenai dampak buruk yang akan ditimbulkan akibat perilaku mereka dengan tujuan untuk memperbaiki perilakunya yang menyimpang atas dasar kesadaran dari individu bukan karena paksaan. Selain itu, apabila  pelaku LGBT mendapat sanksi pidana belum tentu ia akan bertaubat dan kembali pada jalan yang benar, bisa saja setelah mendapat sanksi ia kembali untuk melakukan tindakan tersebut.
Selain itu, saya berharap supaya pelaku LGBT atau zina tetap mendapatkan perlakukan yang sama seperti orang lain pada umumnya karena sesungguhnya mereka merupakan orang-orang butuh pengarahan serta bimbingan bukannya melakukan kriminalisasi terhadap mereka. Karena sesungguhnya mereka juga mempunyai hak yang sama seperti orang lain pada umumnya yaitu mendapat perlindungan dari negara, maka peran negara disini yaitu memberikan keadilan yang sama kepada seluruh warga negara nya seperti yang tertuang dalam sila pancasila kelima yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Mereka juga berhak diperlakukan seperti orang lain pada umumnya, karena mereka mempunyai hak yang sama untuk memilih pasangan dan dapat memperjuangkan haknya serta memperoleh keadilan seperti yang tertuang dalam sila pancasila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradap”. Apabila setiap warga negara mendapat keadilan dan diperlakukan sama maka keutuhan akan wilayah NKRI akan tetap terjaga maka penting bagi lembaga legislatif untuk menegakan hukum yang adil demi persatuan Indonesia seperti yang tertuang dalam sila pancasila kedua dan keempat.
Dalam pernyataan ini saya bukan mengatakan setuju atau mendukung dengan pelaku zina dan LGBT tapi lebih kepada memilih cara yang tepat untuk mengatasi masalah ini. Dan pada prinsipnya memang saya menolak tindakan zina dan LGBT karena merupakan perilaku yang menyimpang dari ajaran agama. Dan sesungguhnya MK sudah benar dalam membuat keputusannya karena pada dasarnya MK tidak mempunyai kewenangan untuk membuat norma baru, melainkan kewajiban dari lembaga legislatif .  Sehingga sudah jelas bahwa MK bukanlah melegalkan zina dan LGBT.


Kamis, 23 November 2017

Pengaruh Profesionalisme, Etika Profesi, dan Gender terhadap Tingkat Materialitas dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan (Studi Empiris Pada KAP Di Malang)


Judul
Pengaruh Profesionalisme, Etika Profesi, dan Gender terhadap Tingkat Materialitas dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan (Studi Empiris Pada KAP Di Malang)
Penulis
Lusia Sedati, Abdul Halim, dan Retno Wulandari
Volume
Journal Riset Mahasiswa Akuntansi (JRMA)
ISSN: 2337-56xx.Volume: xx, Nomor: xx
Tahun
2015
Reviewer
Amelia Roshiani
Arista Faoziyanti
Indriyani Claudina
Lia Ismiani
Natania Hanna
Rizky Trisnawati Rahayu
Latar Belakang
Kebutuhan akan laporan keuangan yang dapat dipercaya dan diandalkan dalam keputusan untuk berinvestasi semakin meningkat. Hal ini dikarenakan setiap investor maupun kreditor menginginkan sejumlah dana yang mereka tanamkan diolah oleh pihak-pihak yang dapat mempertanggung jawabkannya. Untuk dapat menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya dan diandalkan maka dibutuhkan seorang auditor eksternal yang independen. Sebagai bentuk pertanggungjawaban perusahaan kepada investor maupun kreditor, manajemen perusahaan menyajikan laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor eksternal untuk menghindari adanya salah saji material yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan pihak-pihak tersebut.
Seorang  Auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit dengan tujuan untuk memperoleh keyakinan yang memadai mengenai apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan. Dalam merencanakan audit, auditor harus menggunakan pertimbangannya dalam menentukan tingkat risiko audit yang cukup rendah dan pertimbangan awal mengenai tingkat materialitas. Pertimbangan auditor mengenai tingkat materialitas merupakan masalah kebijakan profesional yang dapat dipengaruhi oleh profesionalisme, etika profesi serta gender seorang auditor.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini mengetahui pengaruh profesionalisme, etika profesi, dan gender terhadap tingkat materialitas.
Tujuan
1.      Untuk mengetahui apakah Profesionalisme, Etika Profesi, dan Gender secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Tingkat Materialitas
2.      Untuk mengetahui apakah Profesionalisme, Etika Profesi, dan Gender secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Tingkat Materialitas
3.      Untuk mengetahui apakah Profesionalisme secara dominan berpengaruh signifikan terhadap Tingkat Materialitas
Tinjauan Pustaka
Materialitas
Rahayu dan Suhayati (2010) mendefinisikan materialitas sebagai besarnya informasi akuntansi yang apabila terjadi penghilangan atau salah saji, dilihat dari keadaan yang melingkupinya, mungkin dapat merubah atau memengaruhi pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan atas informasi tersebut.
Profesionalisme
Menurut Arifin (2011), profesionalisme adalah suatu pandangan bahwa suatu keahlian tertentu diperlukan dalam pekerjaan tertentu yang mana keahlian itu hanya diperoleh melalui pendidikan khusus atau latihan khusus.
Etika Profesi
Menurut Herawaty dan Susanto (2009), etika adalah norma perilaku yang mengatur hubungan antara akuntan publik dengan kliennya, antara akuntan publik dengan rekan sejawatnya, dan antara profesi dengan masyarakat.
Gender
Menurut Setiawati (2007), gender adalah aspek non fisiologis dari sex yang memiliki harapan budaya terhadap feminitas dan maskulinitas, dan dalam dunia kerja identitas gender lebih berpengaruh dari pada jenis kelamin.
Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2012), Menunjukkan bahwa hasil profesionalisme auditor, etika profesi, dan pengalaman auditor secara parsial dan simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas.
Penelitian yang dilakukan oleh Agustianto (2013), Menunjukkan bahwa hasil profesionalisme, pengalaman auditor, gender dan kualitas audit secara parsial dan simultan berpengaruh secara signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas.
Berdasarkan landasan teori dan hasil beberapa peneliti terdahulu yang telah dipaparkan sebelumnya maka kerangka konseptual penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Hipotesis Penelitian
H1: Variabel profesionalisme, etika profesi, dan gender secara simultan
berpengaruhsignifikan terhadap tingkat materialitas.
H2:Variabel profesionalisme berpengaruh signifikan terhadap tingkat
materialitas.
H3: Variabel etika profesi berpengaruh signifikan terhadap tingkat
materialitas.
H4: Variabel gender berpengaruh signifikan terhadap tingkat materialitas.
H5: Variabel profesionalisme secara dominan berpengaruh signifikan
terhadap tingkat materialitas.
Metode Penelitian
Rancangan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif. Sedangkan, jenis penelitian yang digunakan adalah explanatory research, yaitu penelitian yang menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel penelitian melalui pengujian hipotesis (Faisal, 2008). Teknik pengambilan sampel dalam penelitiaan ini menggunakan purposive sampling. Sampel diambil berdasarkan kriteria jabatan, yakni senior auditor, supervisor, manajer dan patner . Sehingga jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 95 orang auditor dari 120 orang auditor dari 8 Kantor Akuntan Publik yang ada di Malang. Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh langsung dari responden melalui penyebaran kuesioner berupa profesionalisme, etika profesi, gender dan tingkat materialitas. Variabel dependen (Y) dalam penelitian ini adalah tingkat materialitas, sedangkan variabel independen (X) dalam penelitian ini adalah profesionalisme, etika profesi dan gender.
Teknik Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y) adalah dengan model regresi linier berganda. Sebelum dianalisis, terlebih dahulu dilakukan uji validitas, reliabilitas, multikolinieritas, heteroskedastisitas, dan normalitas. Metode analisis data yang digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y) adalah dengan model regresi linier berganda.
Menurut Ghozali (2006) regresi linier berganda dapat dianalisis dengan rumus berikut:

Keterangan:
Y                     = tingkat materialitas
βo                    = konstanta
β1 …......β3       = koefisien regresi dari X1…… X3
X1                    = profesionalisme
X2                    = etika profesi
X3                    = gender
e                      = variabel lain yang tidak dimasukkan dalam rumus
Uji Instrumen Penelitian
1.   Uji validitas
    Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah pernyataan-pernyataan yang tersaji dalam kuesioner benar-benar mampu mengungkap informasi yang akan diteliti. Kriterianya apabila nilai signifikansi suatu variabel tersebut lebih kecil dari alpha = 0,05 (5%), maka alat ukur tersebut mempunyai validitas dalam arti bahwa pernyataan-pernyataan dalam kuesioner tersebut dapat mengukur fungsi ukurnya, sesuai yang diinginkan.
2.   Uji Reliabilitas
Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah alat ukur (kuesioner) yang digunakan dapat memberikan hasil yang konsisten (tidak berbeda) jika dilakukan pengukuran kembali terhadap subjek yang sama pada waktu yang berlainan. Kriterianya adalah jika α hasilnya > 0,60, maka dinyatakan bahwa instrumen tersebut reliabilitasnya tinggi.
3.   Uji Asumsi Klasik
a.   Uji Multikolinieritas
Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Jika nilainya <10, berarti tidak terjadi multikolinieritas (Ghozali, 2006).
b.  Uji Heteroskedastisitas
Uji ini dilakukuan untuk mengetahui apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika grafik plot menunjukkan tidak beraturan, maka dinyatakan tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2006).
c.   Uji Normalitas
Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah dalam model regresi variabel pengganggu mempunyai distribusi normal atau tidak. Kriterianya jika nilai Asymp. Sig. (2-tailed) model Kolmogorof-Smirnov melebihi α 5% berarti data variabel pengganggu memiliki distribusi normal. Jadi, model regresi memenuhi asumsi normalitas (Ghozali, 2006).
Pembahasan:

Uji Instrumen Penelitian
1.      Uji Validitas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat signifikansi korelasi antara skor indikator dengan skor total atas variabel menunjukkan lebih kecil alpa 5%. Jadi, data yang terkumpul melalui kuesioner mempunyai validitas yang cukup tinggi, dimana pernyataan-pernyataan dalam kuesioner tersebut dapat mengukur fungsi ukurnya sesuai yang diinginkan.
2.      Uji Reliabilitas
Hasil penelitian menunjukkan nilai alpa cronbach setiap variabel lebih besar dari 0,6. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data penelitian yang terkumpul melalui kuesioner mempunyai reliabilitas yang tinggi.
3.      Uji Asumsi Klasik
a.       Uji Multikolinieritas, hasil peneltian menunjukkan bahwa nilai VIF setiap variabel lebih kecil dari 10, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas.
b.      Uji Heteroskedastisitas, hasil penelitian menunjukkan bahwa gambar scatterplot tidak beraturan, sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain.
c.       Uji Normalitas, hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai signifikansi Kolmogorof-Smirnov sebesar 0,710 lebih besar 0,05 (5%), sehingga dapat disimpulkan bahwa data variabel pengganggu memiliki distribusi normal
Uji Hipotesis
1.     Hipotesis pertama digunakan uji-F, hasil uji-F sebesar 0,000 lebih kecil dari alpa 0,05 menunjukkan bahwa hipotesis pertama dapat diterima.
2.   Uji hipotesis kedua, ketiga, dan keempat menggunakan uji-t, hasil uji-t atas   variabel profesionalisme, etika profesi, dan gender masing-masing sebesar 0,000 lebih kecil dari alpha 0,05 menunjukkan bahwa variabel profesionalisme, etika profesi, dan gender secara parsial berpengaruh terhadap tingkat materialitas. Dengan demikian hipotesis kedua, ketiga, dan keempat diterima.
3.     Uji hipotesis kelima menggunakan uji-t, dengan hasil nilai koefisien regresi yang sudah distandarisasi atas variabel profesionalisme (X1) sebesar 0,340 menunjukkan paling besar dari variabel etika profesi (X2) dan gender (X3). Jadi, dapat disimpulkan bahwa hipotesis kelima dapat diterima.

Pengaruh Profesionalisme, Etika Profesi, dan Gender Terhadap Tingkat Materialitas
Tujuan penetapan materialitas adalah untuk membantu auditor merencanakan pengumpulan bahan bukti yang cukup, dengan menentukan jumlah bukti yang harus dikumpulkan dan kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi serta cara memperoleh bukti tersebut.
Pertimbangan awal tingkat materialitas dalam perencanaan audit merupakan jumlah maksimum salah saji yang tercantum dalam laporan keuangan yang tidak akan memengaruhi pengambilan keputusan dari pemakai informasi akuntansi.
Hasil uji hipotesis pertama menunjukkan bahwa signifikan uji-F 0,0000 lebih kecil dari alpha 0,05 dan nilai R-square 0,653, yang berarti bahwa profesionalisme, etika profesi, dan gender secara simultan berpengaruh signifikan terhadap tingkat materialitas sebesar 65,3%, sedangkan sisanya 34,7% dipengaruhi oleh variabel lainnya yang tidak diteliti.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2012), Agustianto (2013), dan Tilamra (2015) yang menyatakan bahwa profesionalisme, etika profesi, dan gender berpengaruh terhadap tingkat materialitas keuangan. Penelitian Kusuma (2012) dan Tilamra (2015) menyatakan bahwa profesionalisme dan etika profesi berpengaruh terhadap tingkat materialitas. Penelitian Agustianto (2013) menyatakan bahwa profesionalisme dan gender berpengaruh terhadap tingkat materialitas.

Pengaruh Profesionalisme Terhadap Tingkat Materialitas
Profesionalisme dalam bekerja sangat penting peranannya, karena dapat membantu seorang auditor untuk meningkatkan kaulitas kinerjanya terutama dalam pengambilan keputusan mengenai laporan keuangan yang telah diaudit. Sehingga, dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat atas kualitas audit dan jasa yang diberikan oleh auditor.
Pernyataan diatas didukung oleh hasil uji hipotesis yang menunjukkan nilai signifikansi variabel profesionalisme sebesar 0,000. profesionalisme secara parsial berpengaruh signifikan terhadap tingkat materialitas. Selain itu, profesionalisme memiliki pengaruh paling dominan terhadap tingkat materialitas sebesar 0,340 dibandingkan etika profesi dan gender yang masing-masing hanya sebesar 0,270 dan 0,260.
Seorang auditor yang profesional akan bekerja menggunakan pengetahuan yang dimiliki sebagai pengabdian pada profesi, dapat membuat keputusan sendiri tanpa adanya tekanan dari pihak lain.
Pernyataan diatas didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan sebagian besar responden setuju bahwa hal ini sesuai dengan jawaban minimum responden sebesar 3,6%, rata-rata responden sebesar 7,02%, dan maksimum responden sebesar 10%. Karena hanya terdapat 3,6% responden yang menjawab sangat tidak setuju dan 7,02% responden menjawab ragu-ragu atas pernyataan variabel X1 bahwa tingkat materialitas dipengaruhi oleh profesionalisme, akan tetapi masih terdapat 10% responden yang menjawab sangat setuju pada pernyataan tersebut.
Hasil penelitian ini yang dilakukan oleh Jayanti (2012) dan Agustianto (2013) yang menyatakan bahwa profesionalisme yang terdiri atas pengabdian pada profesi, hubungan dengan rekan seprofesi, kebutuhan untuk kemandirian, kepercayaan terhadap peraturan profesi, dan kewajiban sosial berpengaruh terhadap tingkat materialitas.

Pengaruh Etika Profesi Terhadap Tingkat Materialitas
Etika profesi merupakan norma perilaku yang dijadikan acuan atau panduan dalam mengatur tingkah laku sebuah profesi. Profesi auditor harus selalu berpegang teguh pada etika profesi yang telah ditetapkan, sehingga dengan memegang teguh pada etika profesi, diharapkan dapat meminimalisir terjadinya kecurangan antar auditor dengan klien, maupun antar sesama auditor yang dikhawatirkan dapat membiaskan hasil pemeriksaan laporanan keuangan yang diaudit. Informasi yang tersaji dalam laporan keuangan yang telah diaudit akan menjadi acuan untuk pengambilan keputusan oleh investor atau kreditor dan oleh pihak lain yang berkepentingan. Oleh karena itu, pendapat auditor atas kewajaran laporan keuangan harus benar-benar sesuai dengan laporan keuangan yang ada diperusahaan.
Pernyataan ini didukung oleh hasil uji hipotesis yang menunjukkan nilai signifikansi variabel etika profesi sebesar 0,000. Hal ini berarti bahwa etika profesi secara parsial berpengaruh signifikan terhadap tingkat materialitas. Auditor yang memiliki kepatuhan terhadap etika profesi yang tinggi akan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mempertimbangkan tingkat materialitas laporan keuangan. Karena dalam melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan auditor akan bersikap sesuai dengan etika profesinya dalam menjalin hubungan profesional dan bisnisnya, tidak akan membiarkan benturan kepentingan memengaruhi pertimbangan profesional dan bisnisnya.
Hal ini sesuai dengan jawaban minimum responden sebesar 5,40%, rata-rata responden sebesar 7,96%, dan maksimum responden sebesar 9,80%. Karena hanya terdapat 5,40% responden yang menjawab sangat tidak setuju dan 7,96% responden menjawab ragu-ragu atas pernyataan variabel X2 bahwa tingkat materialitas dipengaruhi oleh etika profesi, akan tetapi terdapat 9,80% reponden yang menjawab sangat setuju pada pernyataan tersebut. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2012) dan Tilamra (2015) yang menyatakan bahwa etika profesi berpengaruh terhadap tingkat materialitas.

Pengaruh Gender Terhadap Tingkat Materialitas
Dalam penelitian ini menggunakan konsep gender dimana auditor ada yang memiliki sifat maskulin dan ada yang memiliki sifat feminim. Auditor yang memiliki sifat maskulin memiliki kemampuan pemecahan masalah untuk menentukan salah saji material dalam laporan keuangan, mereka tidak mudah meyakini keterangan dari pihak ketiga dan selalu mencari kebenaran atas bukti audit, serta selalu mengumpulkan dan menilai bukti audit secara objektif. Sedangkan auditor yang memiliki sifat feminim belum tentu memiliki kesulitan dalam menetapkan tingkat materialitas laporan keuangan tetapi dalam menilai kewajaran laporan keuangan tersebut dapat dipengaruhi oleh pihak lain.
Pernyataan diatas didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan sebagian besar responden setuju bahwa gender dapat diukur dari sifat feminin dan sifat maskulin. Hal ini sesuai dengan jawaban minimum responden sebesar 5%, rata-rata responden sebesar 8,77%, dan maksimum responden sebesar 12%. Karena hanya terdapat 5% responden yang menjawab sangat tidak setuju dan 8,77% responden menjawab ragu-ragu atas pernyataan variabel X3 bahwa tingkat materialitas dipengaruhi oleh gender, akan tetapi masih terdapat 12% reponden yang menjawab sangat setuju pada pernyataan tersebut.
Kesimpulan
1.  Profesionalisme, Etika Profesi, dan Gender secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Tingkat Materialitas.
2. Profesionalisme, Etika Profesi, dan Gender secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Tingkat Materialitas.
3.  Profesionalisme secara dominan berpengaruh signifikan terhadap Tingkat Materialitas.
Saran
1. Menambah variabel penelitian yang dapat mempengaruhi tingkat    materialitas seperti pengalaman auditor.
2.     Menambah jumlah sampel penelitian supaya hasil penelitian lebih tepat dan akurat.
Kelebihan
1.     Penggunaan Aplikasi SPSS dinilai sudah tepat karena hasilnya lebih akurat.
2. Kuesioner cukup memudahkan dalam pengumpulan data karena tidak memerlukan waktu yang lama dan data lebih up to date.
Kekurangan
1.      Tidak di lampirkan hasil pengujian menggunakan  software SPSS.
2.      Tidak di lampirkan kuisioner.