Berawal dari kasus-kasus
meningkatnya jumlah penderita Infeksi Menular Seks di Indonesia yang kebanyakan
diakibatkan oleh seks bebas serta hubungan seks sesama jenis. Selain itu
meningkatnya jumlah LGBT di Indonesia menjadikan topik ini ramai di bicarakan di
kalangan masyarakat khususnya mengenai keputusan MK terkait zina dan LGBT.
Sehingga pada Selasa, 19 Desember 2017 Indonesia Lawyer Club (ILC) tertarik
untuk mengangkat topik tersebut dengan judul “Benarkah MK melegalkan Zina dan
LGBT?”
Berikut ini adalah narasumber yang hadir
dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) :
1.
Prof. Dr. Ir Euis Sunarti selaku Pemohon Judicial Review – Guru Besar IPB
2.
Rita Soebagio selaku Pemohon Judicial Review – Ketua Organisasi AILA
3.
Feizal Syahmenan selaku Koordinator Tim
Pengacara Pemohon
4.
Dewi Inong Irana selaku dokter Spesialis
Kulit dan Kelamin – Saksi Ahli
5.
Ade Armando selaku Pengamat Komunikasi
6.
Cania Citta selaku Jurnalis di Geotimes
7.
Dede Oetomo selaku Aktivis Gaya Nusantara
8.
Aan Anshori selaku Koordinator Jaringan
Islam Antidiskriminasi
9.
K.H. Zaitun Rasmin selaku Wasekjen MUI
10.
Franz Magnis Suseno selaku Rohanian
Katolik
11.
Ahmad Yani selaku Praktiktisi Hukum
12.
Muszakkir selaku Pakar Hukum Pidana
13.
Feri Amsari selaku Pakar Hukum Tata Negara
14.
Ahmad Redi selaku Pakar Hukum Tata Negara
Universitas Tarumanegara
15.
Refly Harun selaku Pakar Hukum Tata Negara
16.
Irman Putra Sidin selaku Pakar Hukum Tata
Negara
17.
Prof. Mahfud M.D. selaku Mantan Ketua MK
Topik ini mulai memuncak
ketika MK menolak gugatan uji materi yang diajukan oleh pemohon (Judicial Review dan Organisasi AILA) terkait
praktik zina dan LGBT(Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) yang tercantum
dalam KUHP. Dalam KUHP saat ini aturan terkait praktik zina dan LGBT hanya
menjerat mereka yang sudah menikah, mereka yang melakukan praktik zina dengan
anak dibawah umur, serta melakukan pemerkosaan terhadap perempuan sedangkan
terkait hubungan sesama jenis yang melibatkan pasangan dewasa pun belum ada
aturannya. Untuk itu pemohon mengajukan permohonan kepada MK untuk memperluas
aturan terkait praktik zina dan LGBT yang terdapat dalam pasal 284, 285 serta
292. Permohonan ini diajukan tidak serta merta atas kepentingan pribadi dari
para pemohon melainkan untuk kepentingan bersama dan upaya bentuk kepedulian
mereka terhadap sesama.
Berikut ini isi dari
pasal-pasal yang diajukan oleh pemohon kepada MK untuk diperluas terkait zina
dan LGBT
Pasal 284
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan:
1.a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak
(overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
1.b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan
gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
2.a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan
itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
2.b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta
melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah
telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan
suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam
tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja
dan ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73,
dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan
dalam sidang pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan
tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau
sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 292
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang
lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum
dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Dari sidang yang telah
dilakukan selama 22 kali oleh sembilan orang hakim, empat diantaranya termasuk
(Arif Hidayat) selaku ketua MK menyatakan pendapat yang berbeda(Dissenting Opinion) dengan kelima hakim
yang menolak uji materi tersebut. Keempat hakim yang setuju dengan uji materi
menilai pasal tersebut mempersempit definisi dan sudah tidak sesuai dengan
kondisi saat ini. Pendapat yang hanya selisih satu suara ini menimbulkan
berbagai penafsiran dalam benak masyarakat, apakah MK melegalkan zina dan LGBT?
Sehingga akibat keputusan ini MK dianggap sebagai pahlawan karena menolak kriminalisasi
LGBT dan dinilai gagal dalam menegakkan konstitusi dan dianggap bersekongkol
dengan LGBT.
Sementara kelima hakim
yang menolak uji materi tersebut berpendpat bahwa gugatan mengenai perluasan
tafsir terkait pasal praktik zina dan LGBT sudah masuk dalam rancangan KUHP
baru dan tinggal menunggu di sahkan, dan mengatakan bahwa MK tak mempunyai
kewenangan untuk menambah unsur baru dalam UU, melainkan kewenangan dari
parlemen dan presiden.
Selain menarik perhatian masyarakat,
menteri Agama (Lukman H. Saifuddin) juga turut mengungkapakan pendapatnya
mengenai topik ini dengan mengatakan bahwa “semua agama tidak menyetujui
tindakan/perilaku LGBT. Tidak ada agama yang membenarkan itu. Lihat saja di UU
perkawinan, yang sah itu perkawinan yang dilakukan diantara dua jenis kelamin
yang berbeda. Tidak ada norma hukum yang melegalisasikan itu,” tegasnya.
Dalam diskusi di acara
ILC mengenai topik dengan judul “:Benarkah MK melegalkan zina dan LGBT” diawali
dari pernyataan Prof. Dr. Ir Euis Sunarti selaku Pemohon Judicial Review beliau mengatakan
bahwa kejadian-kejadian terkait praktik zina, cabul dan hubungan sesama jenis
sudah mencapai 60-70% disuatu desa dan bahkan tindakan tersebut terjadi dengan
orang-orang yang memiliki kekerabatan yang dekat misalnya dengan ipar atau
mertua. Beliau merasa khawatir dengan kondisi yang seperti ini bagi masa depan
generasi penerus bangsa.
Selain itu, beliau
mengatakan bahwa adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum di Indonesia
seperti pada Pasal 292 yang menjerat pelaku perbuatan cabul dengan orang yang
belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, hal ini berati orang yang melakukan
tindakan tersebut dengan seseorang yang belum
dewasa akan dikenakan hukuman sedangkan apabila orang tersebut melakukan
tindakan zina dengan orang yang sudah dewasa tidak mendapatkan hukuman. Beliau
juga merasa kecewa dengan keputusan MK yang mengatakan bahwa pemohon sudah
salah alamat, lalu sidang selama ini(22 kali sidang) untuk apa jika keputusan
finalnya adalah MK mengatakan bahwa ia sudah salah alamat. Akan tetapi beliau
menerima keputusan dengan lapang dada dan akan tetap memperjuangkan bentuk
kepeduliannya tersebut jika ada kesempatan-kesempatan baginya.
Rita Soebagio selaku
pemohon sekaligus ketua Organisasi AILA mengatakan bahwa sebelum menghadap MK
kami (Organisasi AILA) telah melakukan kajian-kajian kritis sampai dengan
melakukan survey ke 37 Provinsi untuk mewakili suara-suara masyarakat dibawah
yang sebagian besar (93%) berpendapat menolak praktik perzinahan. Untuk itu
pemohon berani menghadap MK dengan kekuatan bahwa banyak yang setuju menolak
zina dan LGBT selain bertentangan dengan nilai-nilai agama juga bertentangan
dengan norma masyarakat. Menurutnya sebenarnya hukum tentang cabul, hubungan
sesama jenis dengan anak dibawah umur sudah bisa dijerat akan tetapi yang kami
minta perluas adalah kalo cabul dilakukan dengan sesama jenis antara laki-laki
dewasa. Bahkan karena jiar yang dilakukan ini organisasi kami sampai mendapat
stigma sebagai kelompok yang akan mengkriminalkan kelompok LGBT ungkapnya. Lalu
muncul pertanyaan darinya “Apakah negara membolehkan cabul antara laki-laki
dewasa dengan laki-laki dewasa?”
Pernyataan Feizal
Syahmenan selaku Koordinator tim Pengacara Pemohon yaitu pemohon yang maju ke
MK bukan untuk main-main, mereka menemukan adanya kekosongan hukum pada pasal
284, 285 dan 292 yang kenyataanya tidak dapat menjangkau hal-hal yang dijadikan
keberatan oleh pemohon. Bahkan diawali oleh pengakuan majelis sendiri dalam
keputusannya yang terdapat kekosongan hukum, sehingga pada esensinya sembilan
hakim MK setuju dengan permohonan dari pemohon. Akan tetapi adanya perbedaan
pendapat diantara hakim MK yang mana lima hakim berpendapat harus melalui DPR
sementara keempat hakim lainnya berpendapat justru kewajiban MK untuk menggali
nilai-nilai yang hidup pada masyarakat. Dengan demikian pada dasarnya MK tidak
melegalkan zina dan LGBT.
Untuk memperkuat alasan
dari pengajuan permohonan dari para pemohon dokter spesialis kulit dan kelamin
yaitu dokter Dewi Inong Irana mengatakan bahwa seks bebas / zina(cabul sesama
jenis) = Infeksi Menular Seks, dimana IMS dapat ditularkan melalui 5 cara
yaitu:
1.
Kelamin-Anal (dubur/anus)
2.
Kelamin-Oral
3.
Kelamin-Kelamin
4.
Kelamin-Alat
5.
Kelamin-Tangan
Berdasarkan survey yang
dilakukannya beliau berpendapat bahwa LGBT adalah resiko yang tertinggi terkena
HIV-Aids yang mana menurut data di Amerika resiko tertinggi HIV-Aids terjadi
melalui hubungan seks yang dilakukan dengan Kelamin-dubur. Sedangkan data yang
diperoleh DepKes mengenai jumlah penderita HIV-Aids di Indonesia yaitu sebanyak
0,5% dengan kenyataan bahwa LSL(Gay) 60 kali lipat lebih mudah terkena
HIV-Aids. Selain itu juga beliau menyarankan bagi yang termasuk berperilaku seksual
resiko tinggi (LGBT, LSL, PSK, Biseksual, Berganti-ganti pasangan) harap
melakuak skrening sedini mungkin dan melakukan konsultasi untuk mencegah sedini
mungkin.
Namun pada kenyataan
tidak semua orang sependapat dengan pengajuan permohonan ini, dalam diskusinya
pada acara ILC beberapa narasumber menyatakan ketidaksetujuan diantaranya ada yang
berpendapat bahwa negara tidak bisa mengatur mengenai urusan kamar tidur
warganya, dalam artian dengan siapa seseorang tidur. Seperti yang dikemukakan
oleh Ade Armando selaku pengamat komunikasi ia membantah pernyataan Ibu Rita selaku
pemohon dengan mengatakan bahwa LGBT bukan lah suatu kebatilan dan tidak selayaknya
seseorang yang melakukan tindakan LGBT ini di kenakan sanksi pidana.
Sementara menurut Cania
Citta selaku jurnalis di Geotimes mengaku bahwa negara akan terlalu jauh
mengatur individu. Menurutnya hukum
seperti hak dan kewajiban yang mana hak bersifat fakultatif sedangkan kewajiban
bersifat imperatif. Sementara negara ini menempatkan agama sebagai hak, yang
artinya ada orang-orang yang tidak mempunyai agama. Akan tetapi pernyataan ini
dibantah oleh Feizal Syahmenan yang mengatakan bahwa negara ini dari sabang
sampai merauke warganya percaya akan agama dan dengan caranya masing-masing.
Pihak lain yang kontra
terhadap permohonan ini yaitu Dede Oetomo selaku aktivis gaya nusantara ia
mengatakan bahwa para pemohon merupakan suatu golongan yang memaksakan nilainya
kepada golongan lain, di Indonesia bukan hanya mereka tetapi ada saya yang
setuju dengan hubungan seks antara dua orang dengan siapa saja selama itu
dilakukan suka sama suka dan tidak ada korbannya. Menurut bung Dede nilai dalam
KUHP sudah benar, jika kita mengkriminalisasikan perilaku seks sesama jenis /
zina diluar nikah maka itu sama saja kita mundur. Selain itu, ia tidak setuju
jika pelaku LGBT di jerat sanksi pidana menurutnya lebih tepat jika menggunakan
pendekatan dampak buruk dengan menyelamatkan pelaku dulu bukan dipidanakan.
Franz Magnis Suseno
selaku rohanian katolik mengungkapkan pendapatnya dari sisi agama yang ia
percaya bahwa hubungan seks yang dapat dibenarkan hanyalah seks antara
laki-laki dengan perempuan dan menurutnya orang-orang homosex tidak boleh di diskriminasi
atau di intimidasi dan sebagainya, dan seharusnya diperlakukan sama seperti
orang-orang pada umumnya.
Sementara Prof. Mahfud
M.D. selaku Mantan Ketua MK mengatakan bahwa MK hanya menolak memberi perluasan
tafsir atas yang ada di dalam KUHP, bukan membolehkan atau melarang. MK memang
tak boleh membuat norma larangan zina dan LGBT bisa dilarang dalam UU. Dan itu
sekarang sudah ada dalam RUU KUHP.
Opini :
Sebelum saya
mengungkapkan pendapat saya terkait topik bahasan kali ini saya akan menyampaikan
bahwa saya bukan lah orang yang paham betul mengenai hukum, selain itu
saya juga bukan orang yang mempelajari hukum sangat detail, penulisan ini hanya
bertujuan untuk memenuhi tugas perkulihan untuk mata kuliah pendidikan
pancasila. Apabila ada kesalahan dalam penulisan ini mohon disampaikan dengan
cara yang sopan dan baik karena saya akan menerima kritik yang disampaikan
dengan cara yang baik.
Pendapat saya mengenai
topik ini yaitu bahwa LGBT atau zina antara orang dewasa bukan lah suatu tindakan
kriminal yang merugikan atau melukai pihak lain apabila dilakukan atas dasar
suka sama suka bukan karena adanya paksaan. Akan tetapi lebih kepada perilaku
yang menyimpang dari nilai-nilai keagamaan yang terkandung dalam sila pertama
pancasila. Dalam sila pertama pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” bahwasanya mengungkapkan bahwa warga
negara mempercayai akan adanya tuhan dan membenarkan ajaran yang terkandung
dalam agama yang dianutnya, yang mana setiap agama tidak ada yang membenarkan
tindakan zina ataupun LGBT.
Apabila seseorang
melakukan tindakan zina atau LGBT maka dapat dikatakan bahwa ia telah melanggar
aturan agama yang ia percayai, yang artinya ia telah melakukan tindakan yang
menyimpang bukan tindakan kriminal. Maka akan lebih baik jika pelaku zina atau LGBT lebih diarahkan untuk mendapatkan
pengarahan serta bimbingan mengenai dampak buruk yang akan ditimbulkan akibat
perilaku mereka dengan tujuan untuk memperbaiki perilakunya yang menyimpang atas
dasar kesadaran dari individu bukan karena paksaan. Selain itu, apabila pelaku LGBT mendapat sanksi pidana belum tentu
ia akan bertaubat dan kembali pada jalan yang benar, bisa saja setelah mendapat
sanksi ia kembali untuk melakukan tindakan tersebut.
Selain itu, saya berharap
supaya pelaku LGBT atau zina tetap mendapatkan perlakukan yang sama seperti
orang lain pada umumnya karena sesungguhnya mereka merupakan orang-orang butuh
pengarahan serta bimbingan bukannya melakukan kriminalisasi terhadap mereka. Karena
sesungguhnya mereka juga mempunyai hak yang sama seperti orang lain pada
umumnya yaitu mendapat perlindungan dari negara, maka peran negara disini yaitu
memberikan keadilan yang sama kepada seluruh warga negara nya seperti yang
tertuang dalam sila pancasila kelima yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Mereka juga berhak
diperlakukan seperti orang lain pada umumnya, karena mereka mempunyai hak yang
sama untuk memilih pasangan dan dapat memperjuangkan haknya serta memperoleh
keadilan seperti yang tertuang dalam sila pancasila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradap”. Apabila
setiap warga negara mendapat keadilan dan diperlakukan sama maka keutuhan akan
wilayah NKRI akan tetap terjaga maka penting bagi lembaga legislatif untuk
menegakan hukum yang adil demi persatuan Indonesia seperti yang tertuang dalam
sila pancasila kedua dan keempat.
Dalam pernyataan ini saya
bukan mengatakan setuju atau mendukung dengan pelaku zina dan LGBT tapi lebih
kepada memilih cara yang tepat untuk mengatasi masalah ini. Dan pada prinsipnya
memang saya menolak tindakan zina dan LGBT karena merupakan perilaku yang
menyimpang dari ajaran agama. Dan sesungguhnya MK sudah benar dalam membuat
keputusannya karena pada dasarnya MK tidak mempunyai kewenangan untuk membuat
norma baru, melainkan kewajiban dari lembaga legislatif . Sehingga sudah jelas bahwa MK bukanlah
melegalkan zina dan LGBT.